GENERASI penerus merupakan salah satu aset terpenting dalam mewujudkan peradaban gemilang suatu negeri. Maka, penjagaan terhadap generasi penerus agar tidak dirusak dan tidak keluar dari tujuan yang seharusnya merupakan hal yang penting dilakukan.
Hal demikiam nampaknya juga dipikirkan oleh Gubernur Jabar, demi mewujudkan karakter generasi penerus yang sesuai dengan yang dicita-citakan, ia membuat kebijakan yang tidak biasa. Seperti yang banyak di muat di media online bahwa mulai tahun ajaran baru 2025/2026, seluruh siswa sekolah di Jawa Barat wajib masuk lebih pagi.
Terlebih era digitalisasi seperti saat ini kondisi generasi seperti makin tergerus moral dan nilai-nilai budi pekertinya. Ditambah maraknya tindak kekerasan yang dilakukan generasi, memang menjadi hal yang wajar bila pemimpin tergerak untuk menyelamatkan.
Rencananya sekolah akan dimulai jam 06.30 WIB pagi, tugas PR atau pekerjaan rumah bagi siswa pun dihapuskan. Meski wacana ini menuai pro dan kontra kebijakan tersebut tetap dilakukan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi alias KDM dengan dalih wujudkan karakter Panca Waluya generasi penerus Jawa Barat, yakni cageur, bageur, bener, pinter dan singer.
Kurikulum Sebagai Jantung Pendidikan
Namun hal yang mesti didalami adalah cukupkah menyelamatkan generasi penerus hanya dengan menerapkan jam mulai belajar yang lebih pagi, atau menghapuskan PR dan menerapkan jam malam ? Nampaknya, permasalahan terkait generasi penerus ini jauh lebih kompleks dari itu.
Beauchamp, seorang tokoh dalam bidang kurikulum, menyatakan bahwa kurikulum merupakan “jantung pendidikan”, kurikulum pendidikan berperan besar melahirkan peserta didik yang unggul. Selain pada kurikulum, keberhasilan pendidikan juga tergantung pada kebijakan politik pendidikannya. Apakah mampu mengubah cara pandang serta pola prilaku dari generasi ataukah tidak.
Bila kita melihat saat ini, kebijakan pendidikan kerap berubah-ubah. Alih-alih menjadi solusi justru memunculkan masalah dan polemik baru. Kurikulum sebagai jantung pendidikan begitu mudahnya berganti, belum selesai dengan satu kurikulum, lalu diganti lagi dengan yang baru. Hal ini akan membawa efek domino, terutama bagi siswa dan guru.
Seolah mereka adalah kelinci percobaan. Guru sebagai ujung tombak kurikulum akhirnya menjadi bingung karena terlalu sering gonta-ganti kurikulum. Efek dominonya adalah kesiapan guru dan siswa menghadapi pergantian kurikulum dan kebijakan yang fluktuatif dan tidak matang.
Jika terus berlanjut seperti ini, mau dibawa ke mana arah dan tujuan pendidikan kita? Kurikulum serba bingung, kebijakan berubah-ubah, tetapi negara lemah ketika dihadapkan pada masalah generasi yang kian rusak moralnya. Pendidikan pun tidak menjadi prioritas dalam menciptakan generasi cemerlang, unggul, dan berakhlak mulia.
Lebih jauh, menelisik sistem pendidikan yang masih berkiblat pada sekularisme menjadi konsekuensi logis akan melahirkan perilaku liberal dan gaya hidup hedonistik pada generasi. Apalagi hari ini kita dihadapkan dengan arus digitalisasi yang mempermudah segalanya.
Generasi dapat mengakses berbagai konten bermuatan positif maupun negatif. Sayang, pemerintah kurang cepat tanggap dalam merespons digitalisasi yang bermuatan negatif, seperti konten kekerasan, pornografi, hingga pelecehan seksual. Akibatnya, generasi kita menjadi korban keganasan kebebasan digital yang memengaruhi perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Begitu kompleksnya permasalah generasi hingga patut diduga bahwa solusi pragmatis tidak dapat menyelesaikannya secara tuntas. Mesti ada upaya yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan generasi.
Solusi Islam Terhadap Problem Generasi
Permasalahan generasi erat kaitannya dengan sistem pendidikannya, bila kita melihat pada cara pandang Islam menyoal pendidikan maka akan kita temukan hal yang luar biasa. Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membangun kepribadian Islam, baik berupa pola pikir (akliah) maupun pola sikap (nafsiah) pada individu umat.
Selain itu, pendidikan berperan untuk mempersiapkan generasi menjadi para ulama dan ahli di berbagai aspek kehidupan. Menurut Islam, orientasi pendidikan adalah membangun peradaban dan mewujudkan kemaslahatan umat.
Dalam sistem pendidikan Islam, generasi dididik dengan pondasi akidah yang kuat sehingga mereka memahami benar mengenai tujuan penciptaannya di muka bumi ini, yakni menyembah Allah Swt.. Para peserta didik akan memahami tujuan hidupnya, yakni dalam rangka menjalankan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya.
Pada titik ini, persoalan kekerasan di sekolah misalnya bisa selesai sebab tiap individu memahami hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh hamba-Nya. Mereka akan bertindak sesuai dengan syariat. Pola relasi antarindividu adalah taawun yakni tolong-menolong. Tiap orang akan berlomba-lomba dalam kebaikan dan menjauhi kemudaratan.
Kurikulumnya yang berbasis akidah Islam dan independen alias terbebas dari kendali oleh berbagai pihak. Hal ini akan melahirkan peserta didik dan juga tenaga pendidik yang menguasai multidisiplin ilmu yang berguna bagi kehidupan umat manusia.
Individu yang memiliki kepribadian Islam akan menjadi generasi yang inovatif, menguasai iptek, menjadi problem solver, dan mampu memimpin peradaban. Inilah yang menjadikan pendidikan berkaitan erat dengan pembangunan peradaban
Peran Politik Pendidikan Islam
Sistem pendidikan tidak boleh terlepas dari politik pendidikan Islam yang memiliki paradigma bahwa pendidikan adalah hak bagi seluruh rakyat dan negara yang bertanggung jawab terhadap pemenuhannya.
Dalil terkait hal tersebut antara lain, dari Abu Musa ra., Nabi saw. bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah…” (HR Bukhari).
Islam memandang ilmu bagaikan jiwa dalam tubuh manusia. Ilmu juga ibarat air bagi kehidupan. Jelas, pendidikan merupakan perkara yang sangat vital yang harus diperoleh oleh tiap individu.
Pendidikan seharusnya masuk ke dalam kebutuhan pokok masyarakat yang harus dijamin penyelenggaraannya oleh negara.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Dalam hal ini, negara bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk pembiayaannya. Baitulmal (kas negara) yang kuat akan mampu menjadikan pendidikan gratis dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Ketersediaan sarana dan prasarana akan terwujud di seluruh penjuru negeri. Pendidikan berkualitas pun akan dirasakan oleh seluruh umat.
Terkait dengan tindak kekerasan di sekolah, negara akan sangat peduli dan berupaya menyelesaikannya. Upaya preventifnya adalah dengan memastikan bahwa tujuan pendidikan terealisasi―yakni membentuk kepribadian Islam―sehingga kontrol ketakwaan dari tiap individu akan berfungsi dengan baik.
Selain itu, pemerintah akan menetapkan kebijakan yang mendukung untuk terselesaikannya persoalan tersebut, di antaranya dengan mengontrol konten di media. Seluruh media baik media massa maupun media sosial tidak boleh bermuatan negatif termasuk adegan kekerasan yang menjadi stimulus anak-anak melakukan tindak kekerasan.
Media harus dalam kendali negara sebagai alat syiar Islam. Begitu pula dengan program/aplikasi yang mendatangkan kemudaratan akan dilarang masuk ke dalam negara, seperti game online atau judi online. Teknologi mumpuni yang dimiliki negara akan mampu menghadang penyelewengan teknologi digital.
Upaya kuratifnya adalah dengan memberikan sanksi yang tegas kepada anak sekolah yang usianya sudah mencapai balig.
Seseorang yang berusia balig sudah terbebani pelaksanaan hukum syariat secara sempurna pada dirinya sehingga ia wajib bertanggung jawab atas tiap amal perbuatannya. Jika pelaku kekerasan adalah guru atau orang dewasa, tentu hukumannya harus tegas dan bersifat menjerakan.
Begitulah sistem pendidikan yang tidak bisa berdiri sendiri melainkan harus didukung dengan sejumlah sistem lainnua terutama sistem politik Islam. Agar mampu mewujudkan generasi yang unggul penerus peradaban gemilang.
Wallahualam
Lilis Suryani (Guru dan Pegiat Literasi)
foto : darunnajah.com